Senin, 09 Februari 2015

Sejarah, Perkembangan dan Masadepan NU



A. Latar Belakang Berdirinya NU

Sesungguhnya pendorong berdirinya NU oleh para ulama dan kaum pesantren adalah semakin meningkatnya kesadaran akan pentingnya kerjasama yang lebih teratur antara mereka didalam memperjuangkan izzul islam wal mukminin dalam bingkai ahlusunah waljamaah.

Dorongan kerjasama ini dipicu oleh peristiwa “Konferensi Khilafah” yang diadakan oleh permerintah Saudi Arabia, sebab setelah selesai perang dunia ke- 2 dan Kesultanan Turki diakui sebagai khilafah islamiyah jatuh karena revolusi yang dipimpina oleh Kamal Ataturk rupanya Pemerintah Saudi Arabia berambisi untuk memangku “Khilafah Turki” tersebut. Maka dirancanglah Konferensi International Khilafah Islamiyah di Mekkah dan diundanglah perwakilan – perwakilan Negara-negara Islam, termasuk Indonesia. Di Indonesia sudah terbentuk sebuah Komite (panitia) untuk mengirim utusan kesana, termasuk KH. Wahab Hasbullah sebagai perwakilan Ulama serta beberapa tokoh-tokoh lain yang mewakili organisasi besar Islam Indonesia.

Namun susunan Anggota Komite berubah, KH. Wahab Hasbullah tidak jadi masuk menjadi anggota delegasi, karena tidak “mewakili organisasi” apapun, secara tidak langsung ini sebuah penghinaan terhadap Ulama Pesantren yang sesungguhnya besar pengaruhnya dan posisinya terhadap umat Islam di Indonesia.

Karena kemungkinan bergabung dengan delegasi umat Islam Indonesia sudah tertutup, maka para Ulama berusaha dengan kekuatan sendiri untuk mengirim delegasi Ulama Ahlu sunnah wal jamaah Indonesia menghadapi Pemerintah Saudi Arabia. Untuk keperluan itu maka dibentuklah “Komite Hijaz” sebuah panitia untuk memobilisasi kekuatan dan dukungan umat bagi terlaksananya kerja besar ini.
Segala kebutuhan dapat disiapkan meskipun dalam keadaan pas-pasan. Delegasinya hanya KH. Wahab Hasbullah sendiri, seorang penasehat dari Mesir yaitu Syekh Ghonaim (untuk memperbesar wibawa delegasi) sekretarisnya diambilkan dari mahasantri Indonesia yang ada di Arab Saudi, yaitu KH. Dachlan dari Nganjuk. ketika delegasi akan berangkat. Komite Hijaz inilah yang menjadi cikal bakal organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama.

Komite Hijaz. Yaitu sebuah komite yang mengemban missi penyelamatan makam Rasulullah saw dari penghancuran oleh pemerintah Saudi Arabia yang berideologi Faham Wahabi.Seperti kita tahu, bahwa ajaran Faham Wahabi sangat membenci ziarah kubur, padahal ziarah kubur ke makam Rasulullah Saw adalah Sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah sendiri. Lalu kenapa Makam Rasulullah akan dihancurkan, karena menurut pandangan mereka ziarah kubur bisa menyebabkan pelakunya menjadi musyrik. Hal ini tidak sejalan dengan klaim kaum Wahabi bahwa mereka adalah sebagai kaum penegak tauhid.
Di sinilah Komite Hijaz punya peranan sangat penting dalam sejarah NU demi tetap eksisnya makam Rasulullah saw. Apa jadinya jika makam Rasulullah Saw jadi dihancurkan, tentunya umat Islam akan kesulitan berziarah ke makam Rasulullah saw. Bahkan pada saat inipun kita harus main kucing-kucingan dengan para muthowe’ dan asykar Saudi untuk bisa sekedar berziarah di makam Rasulullah Saw. Bahkan banyak yang gagal karena takut kepada para muthowe’ dan asykar saudi, padahal umat Islam datang dari negeri yang jauh dengan membawa kerinduan kepada Habibana Nabi Muhammad Saw.
Kembali ke sejarah Komite Hijaz dari Indonesia, ketika itu Indonesia belum merdeka dari penjajahan Belanda. Dalam keadaan serba susah para Ulama Aswaja di tanah Jawa masih sempat mencermati apa yang tengah terjadi di Hijaz (sekarang saudi Arabia). Waktu itu di Hijaz sedang dalam masa-masa awal berdirinya kerajaan Saudi arabia atas dukungan Inggris.
.Komite Hijaz ini merupakan sebuah kepanitiaan kecil yang dipimpin oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Setelah berdiri, Komite Hijaz menemui Raja Ibnu Suud di Hijaz (Saudi Arabia) untuk menyampaikan beberapa permohonan,  seperti meminta Hijaz memberikan kebebasan kepada umat Islam di Arab untuk melakukan ibadah sesuai dengan madzhab yang mereka anut.  Karena untuk mengirim utusan ini diperlukan adanya organisasi yang formal, maka didirikanlah Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926, yang secara formal mengirimkan delegasi ke Hijaz untuk menemui Raja Ibnu Saud.  Adapun lima permohonan yang disampaikan oleh Komite Hijaz, seperti ditulis di situs www.nu.or.id tersebut adalah:
  • Memohon diberlakukan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz pada salah satu dari mazhab empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Atas dasar kemerdekaan bermazhab tersebut hendaknya dilakukan giliran antara imam-imam shalat Jum’at di Masjidil Haram dan hendaknya tidak dilarang pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan mazhab tersebut di bidang Tasawuf, Aqidah maupun Fiqih ke dalam Negeri Hijaz, seperti karangan Imam Ghazali, Imam Sanusi dan lain-lainnya yang sudaha terkenal kebenarannya.
  • Memohon untuk tetap diramaikan tempat-tempat bersejarah yang terkenal sebab tempat-tempat tersebut diwaqafkan untuk masjid seperti tempat kelahiran Siti Fatimah dan bangunan Khaezuran dan lain-lainnya berdasarkan firman Allah “Hanyalah orang yang meramaikan Masjid Allah orang-orang yang beriman kepada Allah” dan firman Nya “Dan siapa yang lebih aniaya dari pada orang yang menghalang-halangi orang lain untuk menyebut nama Allah dalam masjidnya dan berusaha untuk merobohkannya.”
  • Memohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia, setiap tahun sebelum datangnya musim Haji menganai tarif/ketentuan biaya yang harus diserahkan oleh Jamaah Haji kepada Syaikh dan muthowwif dari mulai Jedah sampai pulang lagi ke Jedah. Dengan demikian orang yang akan menunaikan ibadah haji dapat menyediakan perbekalan yang cukup buat pulang-perginya dan agar supaya mereka tidak dimintai lagi lebih dari ketentuan pemerintah.
  • Memohon agar semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz, ditulis dalam bentuk undang-undang agar tidak terjadi pelanggaran terhadap undang-undang tersebut.
  • Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) memohon balasan surat dari Yang Mulia yang menjelaskan bahwa kedua orang delegasinya benar-benar menyampaikan surat mandatnya dan permohonan-permohonan NU kepada Yang Mulia dan hendaknya surat balasan tersebut diserahkan kepada kedua delegasi tersebut.
Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Komite Hijaz yang merupakan respons terhadap perkembangan Islam di dunia internasional ini menjadi faktor terpenting didirikannya organisasi NU. Berkat kegigihan para kiai yang tergabung dalam Komite Hijaz, aspirasi dari umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah diterima oleh raja Ibnu Saud. Hasilnya, Makam Nabi Muhammad yang akan dibongkar pun tidak jadi dihancurkan.
 Selain itu, Sebelum Nahdhatul Ulama berdiri, desakan dari kalangan Muda Islam tradisionalis kepada K.H Hasyim Asy”ari untuk segera merestui pembentukan organisasi yang mengkoordinir kaum Islam Tradisionalis sebagai wadah inspirasi dan aspirasi golongan tersebut sudah mulai muncul namun K.H. Hasyim Asyari belum merestuinya. Embrio-embrio NU muncul ketika pada tahun 1916, kiai wahab mendirikan sebuah madrasah yang bernama Nahdhatull wathon (kebangkitan tanah air) DI Surabaya. Namun lama kelamaan madrasah tersebut menjadi markas penggemblengan para remaja, dari situ kemudian lahirlah sebutan jam’iyah Nasihin yang bertujuan untuk mendidik muridnya supaya menjadi pemimpin.
Pada awal tahun 1918, kiai wahab juga membentuk sebuah koperasi pedagang yang bernama Nahdhatut tujjar.
Tidak berhenti disitu perjuangan Kyai Wahab sebagai embrio Nahdhathul Ulama. Pada tahun 1919 berdiri madrasah yang bernama Taswhirul Affkar, yang bertujuan untuk menyediakan bagi anak-anak untuk mengaji dan belajar yang ditujukan sebagai “sayap” untuk membela kepentingan Islam Tradisionalis.

C. Lahirnya  NU

Jamiyah Nahdlatul Ulama didirikan di surabya pada tanggal 6 rojab 1344 H bertepatan dengan 31 Januari 1926 M.
NU sebagai ormas terbesar di Indonesia memiliki tokoh-tokoh yang berkiprah dalam membentuk organisasi tersebut diantaranya adalah:
KH Hasyim Asy’ari(1817-1947) Tebu Ireng Jombang,= pendiri NU & Rais Akbar
KH Bisri Syamsuri (1886-1980) Denayar, Jombang = A’wan & Rais Aam
KH Abdullah Wahab Chasbullah (1888-1971),Tambak Beras Jombang = Katib & Rais Aam
KH Abdul Chamid Faqih, Sedayu, Gresik = Pendiri & pengusul Nama NU.
KH Ridwan Abdullah 1884-1962, Surabaya = Pendiri & pencipta lambang NU
KH Abdullah Halim Leuwemunding- Cirebon = Pendiri NU
Abdul Aziz, Surabaya = pendiri NU & pencipta nama NU.
KH Ma’shum (1870-1972) Lasem = Pendiri NU
KH A Dachlan Achjad, Malang = Pendiri NU & Wakil Rais Pertama
kh Nachrowi Thahir (1901-1980), Malang = pendiri NU & A’wan Pertama
KH R Asnawi (1861-1959) Kudus = Pendiri NU & Mustasyar Pertama
Syekh Ganaim (tinggal di Surabaya berasal dari Mesir) = pendiri NU & Mustasyar Pertama
KH Abdullah Ubaid (1899-1938) Surabaya = pendiri NU dan A’wan Pertama.

selain itu juga ada beberapa tokoh terkenal yang menjadi tokoh belakang layar yaitu Syakhona KH Kholil Bangkalan yang notabennya sebagai Guru dari KH Hasyim Asy’ari dan KH As’ad yang menjadi saudara seperguruannya ketika menyantri di Pesantrenya KH Kholil Bangkalan Madura.

Tujuan Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam menurut Faham Ahlu Sunnah wal Jamaah dan menganut salah satu madzhab empat, ditengah-tengah kehidupan masyarakat didalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia (AD NU Bab IV pasal 5).

Posisi dan Fungsi Ulama dalam NU Sebagaimana pada alenia 2 butir mukoddimah Khittoh NU di sebutkan : Nahdlatul Ulama sebagai jamiyah Diniyah adalah wadah bagi ulama dan pengiakut-pengikutnya yang didirikan pada 16 rojab 1344 H/31 Januari 1926 M, dengan tujuan untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam berhaluan Ahlusunnah wal jamaah dan menganut salah satu madzhab empat masing-masing : Imam Abu Hanifah An Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, dan Imam Ahmad Bin Hambal, serta untuk mempersatukan langkah para ulama dan pengikutnya dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat dan martabat manusia.
Dasar – dasar faham keagamaan NU

• Sumber – sumber ajaran Islam diambil dari :
1. Al – Qur’an
2. Al – Hadist
3. Al Ijma’
4. Al Qiyas
• Menggunakan system bermadzhab :
a. Aqidah : Aswaja sebagaimana dipelopori oleh Imam Asy’ari dan Imam Maturidi
b. Fiqh : salah madzhab empat : Hanafi, maliki, Syafi’I dan Hambali
c. Tashawwuf : Imam Junaid Al Bagdadi, Imam Ghozali

D. Peran NU dalam mendirikan NKRI

Tidak diragukan lagi bahwa peranan NU dalam pembentukan NKRI sangat berperan aktif dalam pergerakannya. NU bukan hanya organisasi yang berbicara masalah keagamaan yang menjunjung nilai-nilai tradisionalis. Namun, NU juga berbicara mengenai motif Nasionalisme atau kemerdekaan atas Negara yang pada waktu itu dijajah oleh kolonial Belanda.
Sepeti yang telah dibahas dibagian sebelumnya, NU dalam lintasan sejarah secara tidak langsung mempersiapkan kekuatan untuk pengusiran penjajah di Nusantara, salah satunya Nahdhatul Wathan yang didirikan pada tahun 1916 oleh kyai Wahab Hasbullah, sebagai pondasi awal semangat nasionalisme. Pembentukan Nahdhatul Wathan ditujukan untuk menggarap para murid-muridnya untuk menanamkan rasa nasionalisme, jalur ini memang lebih cendrung berorientasi pendidikan.
Namun setelah organisasi yang bernama Nahdhatuhul Ulama ini terbentuk, nahdhathul Ulama dalam anggaran dasarnya tidak menyebutkan kemerdekaan sebagai salah satu tujuannya. Baru dikemudian hari, anti-kolonialisme diajarkan dan tertuang dalam buku-buku pegangan sekolah kaum tradisionalis. Bahkan Kiai HM dachlan menjelaskan bahwa perjuangan anti-penjajah merupakan asal usl Nahdhathul Ulama.
Akan tetapi, mengutip dari Choirul Anam, Nahdhatul Ulama, secara implicit bertujuan melawan Belanda. Empat tahun setelah berdirinya NU, yakni sekitar tahun 1930-an, dalam pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah yang didirikan oleh para kiai NU, diwajibkannya menyanyikan lagu kebangsaan setiap hari kamis setelah mata pelajaran selesai. Bukan hanya itu, tapi buku-buku yang dilarang dipelajari di sekolah-sekolah oleh penjajah, beredar di pesantren-pesantren serta madrasah-madrasah. Hal ini jelas bahwa Nahdhatul Ulama serius dalam pengusiran penjajah dengan menanamkan rasa Nasionalisme sebagai pondasi awal perlawanan terhadap Belanda.
Dalam bidang hukum khususnya pada urusan keagamaan umat Islam, Nahdhathul Ulama secara tegas untuk menolak intervensi dari  pemerintahan Belanda. Pada tahun 1931, masalah warisan ditarik dari wewenang Pengadilan Agama, artinya bahwa hukum adat yang kembali diberlakukan di Pulau jawa, Madura dan Kalimantan Selatan. Hal ini bukan semata-mata diberlakukannya hukum adat akan tetapi penggrogotan wewenang Pengadilan Agama yang merupakan lambang wewenang kaum muslimin yang menimbulkan rasa tidak senang tersebut.
Di massa-masa persiapan kemerdekaan, meskipun NU tidak melibatkan diri secara langsung dalam dunia politik, para pemimpin NU memperhatikan juga bentuk Negara Indonesia yang akan datang. Hal ini dipertegas dalam Muktamar XV pada tahun 1940, Muktamar ini sekaligus Muktamar terakhir pada masa Colonial Belanda, dalam muktamar tersebut berkesimpulan menunjuk Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai calon presiden yang pantas memimpin bangsa. Muktamar tersebut dihadiri oleh 11 tokoh NU yang dipimpin oleh Mahfudz Shidiq.
Selanjutnya, di masa proklamasi kemerdekaan,  berdebatan sengit mengenai bentuk Negara yang dimulai dari tahun 1920-an, akhirnya memuncak saat Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945. Sebenarnya bukan hanya bentuk Negara yang diperdebatkan, akan tetapi banyak hal lain yang diperdebatkan mengenai jati diri negar kedepannya, antara lain : mengenai batas wilayah, bentuk Negara, dan bentuk pemerintahan.
Yang pada akhirnya, di Bulan April 1945, dalam pidatonya, Soekarno meletakan dasar Negara dengan dasar 5 sila atau yang masyhur disebut dengan pancasila.   
Peranan NU dalam melegalkan pancasila ini tercermin dalam iskusi antara Soekarno, kiai Wahab Hasbullah, kiai Masykur dan kahar Muzakar yang berkesimpulan bahwa 5 sila tersebut representasi dari ajaran Islam. Akan tetapi titik tekan yang dilakukan oleh para pemimpin Islam tersebut lebih kepada persatuan Indonesia yang terdiri dari beberapa agama dan banyak suku bangsa yang tersebar luas di belahan nusantara.
Lagi-lagi, pancasila kembali menimbulkan diskursus dengan golongan Islam kanan dan golongan Nasionalis, hingga pada akhirnya Soekarno memanggil panitia 62 kemudian membentuk panitia kecil yang terdiri dari 9 orang yang akan membahas kompromi antara kaum Islam dan Nasionalis. Kyai Wahid Hasyim sebagai representasi dari golongan Islam tradisional atu NU, dalam rapat panitia tersebut membuahkan hasil dengan menambahkan acuan syariat Islam bagi pemeluknya, menurut dasar kemanusian yang adil dan beradab.
Tidak berhenti disitu perdebatan mengenai 5 sila tersebut, pada rapat selanjutnya, piagam Jakarta tersebut dipertanyakan kembali oleh tokoh Nasionalis dan Kristen. Latuharhari, dari protestan, melontarkan dengan tegas kekhawatirannya mengenai ditambahkannya syariat Islam dalam sila tersebut, yang berdampak pada perpecahan. Dari NU sendiri yang diwakili oleh Wahid Hayim mengusulkan agar Agama Negara adalah Islam, dengan jaminan bagi pemeluk lain untuk dapat beribadah menurut agamanya masing-masing.
Perdebatan sengit mengenai piagam jakarta ini, saat dua hari setelah jepang menyerah, yakni pada tanggal 17 Agustus malam, pada hari proklamasi kemerdekaan dikumandangkan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta, menerima kunjungan perwira jepang yang menyampaikan keberatan-keberatan penduduk di Indonesia Timur, yang tidak beragama Islam mengenai dimuatnya piagam Jakarta pada mukaddimah UUD, bila tidak diuabah, mereka lebih suka berdiri diluar republic Indonesia. Artinya mereka tidak akan bergabung dengan Indonesia dan perpecahan ini diakibatkan oleh piagam Jakarta pada muqadimahnya. Pada akhirnya pada tanggal 18 agustus Muhamad Hatta memanggil empat anggota panitia persiapan kemerdekaan yang diwakili oleh Islam. Antra lain yaitu: Ki Bagus Adi Kusumo, Kasman Singodimejo, Teuku Muhamad Hasan dan Wahid Hasim. Hasil rapat panitia tersebut berkat usulan Wahid Hasim yaitu mengenai digantinya syariat Islam dengan ke-Tuhan an yang maha esa.  Wahid Hasim sebgai representasi dari NU berperan penting atas Persatuan Bangsa Indonesia dengan kata lain beliau adalah pahlawan konstitusi Republik Indonesia yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan, tanpa menghilangkan nilai-nilai Islam dalam piagan Jakrta tersebut.

*Penulis adalah : Wakil Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor,  Ketua Presidium Koordinator Nasional (Koornas) Jaringan Alumni Munda (JAM) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Ketua Angkatan Muda Haji Indonesia (AMHI) Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), Kepala Sekolah, Sekolah Menengah Kejuruan ((SMK) Al Badar YPPA Cipulus, Sekretaris Yayasan Pondok Pesantren Al Hikamussalafiyah (YPPA) Cipulus Purwakarta..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar