A. Latar Belakang Berdirinya
NU
Sesungguhnya pendorong berdirinya NU oleh para ulama
dan kaum pesantren adalah semakin meningkatnya kesadaran akan pentingnya
kerjasama yang lebih teratur antara mereka didalam memperjuangkan izzul islam
wal mukminin dalam bingkai ahlusunah waljamaah.
Dorongan kerjasama ini dipicu oleh peristiwa
“Konferensi Khilafah” yang diadakan oleh permerintah Saudi Arabia, sebab
setelah selesai perang dunia ke- 2 dan Kesultanan Turki diakui sebagai khilafah
islamiyah jatuh karena revolusi yang dipimpina oleh Kamal Ataturk rupanya
Pemerintah Saudi Arabia berambisi untuk memangku “Khilafah Turki” tersebut.
Maka dirancanglah Konferensi International Khilafah Islamiyah di Mekkah dan
diundanglah perwakilan – perwakilan Negara-negara Islam, termasuk Indonesia. Di
Indonesia sudah terbentuk sebuah Komite (panitia) untuk mengirim utusan kesana,
termasuk KH. Wahab Hasbullah sebagai perwakilan Ulama serta beberapa tokoh-tokoh
lain yang mewakili organisasi besar Islam Indonesia.
Namun susunan Anggota Komite berubah, KH. Wahab
Hasbullah tidak jadi masuk menjadi anggota delegasi, karena tidak “mewakili
organisasi” apapun, secara tidak langsung ini sebuah penghinaan terhadap Ulama
Pesantren yang sesungguhnya besar pengaruhnya dan posisinya terhadap umat Islam
di Indonesia.
Karena kemungkinan bergabung dengan delegasi umat
Islam Indonesia sudah tertutup, maka para Ulama berusaha dengan kekuatan
sendiri untuk mengirim delegasi Ulama Ahlu sunnah wal jamaah Indonesia
menghadapi Pemerintah Saudi Arabia. Untuk keperluan itu maka dibentuklah
“Komite Hijaz” sebuah panitia untuk memobilisasi kekuatan dan dukungan umat
bagi terlaksananya kerja besar ini.
Segala kebutuhan dapat disiapkan meskipun dalam
keadaan pas-pasan. Delegasinya hanya KH. Wahab Hasbullah sendiri, seorang
penasehat dari Mesir yaitu Syekh Ghonaim (untuk memperbesar wibawa delegasi)
sekretarisnya diambilkan dari mahasantri Indonesia yang ada di Arab Saudi,
yaitu KH. Dachlan dari Nganjuk. ketika delegasi akan berangkat. Komite Hijaz
inilah yang menjadi cikal bakal organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama.
Komite Hijaz. Yaitu sebuah komite yang mengemban missi
penyelamatan makam Rasulullah saw dari penghancuran oleh pemerintah Saudi
Arabia yang berideologi Faham Wahabi.Seperti kita tahu,
bahwa ajaran Faham Wahabi sangat
membenci ziarah kubur, padahal ziarah kubur ke makam Rasulullah Saw adalah Sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah
sendiri. Lalu kenapa Makam Rasulullah akan dihancurkan, karena menurut
pandangan mereka ziarah kubur
bisa menyebabkan pelakunya menjadi musyrik. Hal ini tidak sejalan dengan klaim kaum Wahabi bahwa
mereka adalah sebagai kaum penegak tauhid.
Di sinilah Komite
Hijaz punya peranan sangat penting dalam sejarah NU demi tetap eksisnya makam Rasulullah saw. Apa jadinya
jika makam Rasulullah Saw jadi
dihancurkan, tentunya umat Islam
akan kesulitan berziarah ke makam
Rasulullah saw. Bahkan pada saat inipun kita harus main kucing-kucingan
dengan para muthowe’ dan asykar Saudi
untuk bisa sekedar berziarah di makam
Rasulullah Saw. Bahkan banyak yang gagal karena takut kepada para
muthowe’ dan asykar saudi,
padahal umat Islam
datang dari negeri yang jauh dengan membawa kerinduan kepada Habibana Nabi Muhammad
Saw.
Kembali ke sejarah Komite Hijaz dari Indonesia, ketika itu Indonesia belum merdeka dari penjajahan Belanda. Dalam keadaan
serba susah para Ulama
Aswaja
di tanah Jawa masih sempat mencermati apa yang tengah terjadi di Hijaz (sekarang saudi Arabia). Waktu
itu di Hijaz sedang dalam
masa-masa awal berdirinya kerajaan Saudi arabia atas dukungan Inggris.
.Komite Hijaz ini
merupakan sebuah kepanitiaan kecil yang dipimpin oleh KH Abdul Wahab
Chasbullah. Setelah berdiri, Komite
Hijaz menemui Raja Ibnu Suud di Hijaz (Saudi Arabia) untuk
menyampaikan beberapa permohonan, seperti meminta Hijaz memberikan kebebasan kepada umat Islam
di Arab untuk melakukan ibadah sesuai dengan madzhab yang mereka anut. Karena untuk mengirim utusan ini diperlukan
adanya organisasi yang formal, maka didirikanlah Nahdlatul Ulama pada 31
Januari 1926, yang secara formal mengirimkan delegasi ke Hijaz untuk menemui Raja Ibnu Saud. Adapun lima
permohonan yang disampaikan oleh Komite
Hijaz, seperti ditulis di
situs www.nu.or.id tersebut adalah:
- Memohon diberlakukan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz pada salah satu dari mazhab empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Atas dasar kemerdekaan bermazhab tersebut hendaknya dilakukan giliran antara imam-imam shalat Jum’at di Masjidil Haram dan hendaknya tidak dilarang pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan mazhab tersebut di bidang Tasawuf, Aqidah maupun Fiqih ke dalam Negeri Hijaz, seperti karangan Imam Ghazali, Imam Sanusi dan lain-lainnya yang sudaha terkenal kebenarannya.
- Memohon untuk tetap diramaikan tempat-tempat bersejarah yang terkenal sebab tempat-tempat tersebut diwaqafkan untuk masjid seperti tempat kelahiran Siti Fatimah dan bangunan Khaezuran dan lain-lainnya berdasarkan firman Allah “Hanyalah orang yang meramaikan Masjid Allah orang-orang yang beriman kepada Allah” dan firman Nya “Dan siapa yang lebih aniaya dari pada orang yang menghalang-halangi orang lain untuk menyebut nama Allah dalam masjidnya dan berusaha untuk merobohkannya.”
- Memohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia, setiap tahun sebelum datangnya musim Haji menganai tarif/ketentuan biaya yang harus diserahkan oleh Jamaah Haji kepada Syaikh dan muthowwif dari mulai Jedah sampai pulang lagi ke Jedah. Dengan demikian orang yang akan menunaikan ibadah haji dapat menyediakan perbekalan yang cukup buat pulang-perginya dan agar supaya mereka tidak dimintai lagi lebih dari ketentuan pemerintah.
- Memohon agar semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz, ditulis dalam bentuk undang-undang agar tidak terjadi pelanggaran terhadap undang-undang tersebut.
- Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) memohon balasan surat dari Yang Mulia yang menjelaskan bahwa kedua orang delegasinya benar-benar menyampaikan surat mandatnya dan permohonan-permohonan NU kepada Yang Mulia dan hendaknya surat balasan tersebut diserahkan kepada kedua delegasi tersebut.
Dari pemaparan di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa Komite
Hijaz yang merupakan respons terhadap perkembangan Islam
di dunia internasional ini menjadi
faktor terpenting didirikannya organisasi NU. Berkat kegigihan para kiai
yang tergabung dalam Komite Hijaz,
aspirasi dari umat Islam
Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah
wal Jama’ah diterima oleh raja Ibnu Saud. Hasilnya, Makam Nabi Muhammad yang akan dibongkar pun tidak jadi
dihancurkan.
Selain
itu, Sebelum Nahdhatul Ulama berdiri, desakan dari kalangan Muda Islam
tradisionalis kepada K.H Hasyim Asy”ari untuk segera merestui pembentukan
organisasi yang mengkoordinir kaum Islam Tradisionalis sebagai wadah inspirasi
dan aspirasi golongan tersebut sudah mulai muncul namun K.H. Hasyim Asyari
belum merestuinya. Embrio-embrio NU muncul ketika pada tahun 1916, kiai wahab
mendirikan sebuah madrasah yang bernama Nahdhatull wathon (kebangkitan tanah
air) DI Surabaya. Namun lama kelamaan madrasah tersebut menjadi markas
penggemblengan para remaja, dari situ kemudian lahirlah sebutan jam’iyah
Nasihin yang bertujuan untuk mendidik muridnya supaya menjadi pemimpin.
Pada awal tahun 1918, kiai wahab juga
membentuk sebuah koperasi pedagang yang bernama Nahdhatut tujjar.
Tidak berhenti disitu perjuangan Kyai Wahab
sebagai embrio Nahdhathul Ulama. Pada tahun 1919 berdiri madrasah yang bernama
Taswhirul Affkar, yang bertujuan untuk menyediakan bagi anak-anak untuk mengaji
dan belajar yang ditujukan sebagai “sayap” untuk membela kepentingan Islam Tradisionalis.
C. Lahirnya NU
Jamiyah Nahdlatul Ulama didirikan di surabya pada
tanggal 6 rojab 1344 H bertepatan dengan 31 Januari 1926 M.
NU sebagai ormas terbesar di Indonesia memiliki tokoh-tokoh
yang berkiprah dalam membentuk organisasi tersebut diantaranya adalah:KH Hasyim Asy’ari(1817-1947) Tebu Ireng Jombang,= pendiri NU & Rais Akbar
KH Bisri Syamsuri (1886-1980) Denayar, Jombang = A’wan & Rais Aam
KH Abdullah Wahab Chasbullah (1888-1971),Tambak Beras Jombang = Katib & Rais Aam
KH Abdul Chamid Faqih, Sedayu, Gresik = Pendiri & pengusul Nama NU.
KH Ridwan Abdullah 1884-1962, Surabaya = Pendiri & pencipta lambang NU
KH Abdullah Halim Leuwemunding- Cirebon = Pendiri NU
Abdul Aziz, Surabaya = pendiri NU & pencipta nama NU.
KH Ma’shum (1870-1972) Lasem = Pendiri NU
KH A Dachlan Achjad, Malang = Pendiri NU & Wakil Rais Pertama
kh Nachrowi Thahir (1901-1980), Malang = pendiri NU & A’wan Pertama
KH R Asnawi (1861-1959) Kudus = Pendiri NU & Mustasyar Pertama
Syekh Ganaim (tinggal di Surabaya berasal dari Mesir) = pendiri NU & Mustasyar Pertama
KH Abdullah Ubaid (1899-1938) Surabaya = pendiri NU dan A’wan Pertama.
selain itu juga ada beberapa tokoh terkenal yang menjadi tokoh belakang layar yaitu Syakhona KH Kholil Bangkalan yang notabennya sebagai Guru dari KH Hasyim Asy’ari dan KH As’ad yang menjadi saudara seperguruannya ketika menyantri di Pesantrenya KH Kholil Bangkalan Madura.
Tujuan Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam
menurut Faham Ahlu Sunnah wal Jamaah dan menganut salah satu madzhab empat,
ditengah-tengah kehidupan masyarakat didalam wadah Negara kesatuan Republik
Indonesia (AD NU Bab IV pasal 5).
Posisi dan Fungsi Ulama dalam NU Sebagaimana pada alenia
2 butir mukoddimah Khittoh NU di sebutkan : Nahdlatul Ulama sebagai jamiyah
Diniyah adalah wadah bagi ulama dan pengiakut-pengikutnya yang didirikan pada
16 rojab 1344 H/31 Januari 1926 M, dengan tujuan untuk memelihara,
melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam berhaluan Ahlusunnah
wal jamaah dan menganut salah satu madzhab empat masing-masing : Imam Abu
Hanifah An Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i,
dan Imam Ahmad Bin Hambal, serta untuk mempersatukan langkah para ulama dan
pengikutnya dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk kemaslahatan
masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat dan martabat manusia.
Dasar – dasar faham keagamaan NU
Dasar – dasar faham keagamaan NU
• Sumber – sumber
ajaran Islam diambil dari :
1. Al – Qur’an
2. Al – Hadist
3. Al Ijma’
4. Al Qiyas
• Menggunakan system bermadzhab :
a. Aqidah : Aswaja sebagaimana dipelopori oleh Imam Asy’ari dan Imam Maturidi
b. Fiqh : salah madzhab empat : Hanafi, maliki, Syafi’I dan Hambali
c. Tashawwuf : Imam Junaid Al Bagdadi, Imam Ghozali
1. Al – Qur’an
2. Al – Hadist
3. Al Ijma’
4. Al Qiyas
• Menggunakan system bermadzhab :
a. Aqidah : Aswaja sebagaimana dipelopori oleh Imam Asy’ari dan Imam Maturidi
b. Fiqh : salah madzhab empat : Hanafi, maliki, Syafi’I dan Hambali
c. Tashawwuf : Imam Junaid Al Bagdadi, Imam Ghozali
D. Peran NU dalam mendirikan NKRI
Tidak diragukan lagi bahwa peranan NU dalam
pembentukan NKRI sangat berperan aktif dalam pergerakannya. NU bukan hanya
organisasi yang berbicara masalah keagamaan yang menjunjung nilai-nilai
tradisionalis. Namun, NU juga berbicara mengenai motif Nasionalisme atau
kemerdekaan atas Negara yang pada waktu itu dijajah oleh kolonial Belanda.
Sepeti yang telah dibahas dibagian
sebelumnya, NU dalam lintasan sejarah secara tidak langsung mempersiapkan
kekuatan untuk pengusiran penjajah di Nusantara, salah satunya Nahdhatul Wathan
yang didirikan pada tahun 1916 oleh kyai Wahab Hasbullah, sebagai pondasi awal
semangat nasionalisme. Pembentukan Nahdhatul Wathan ditujukan untuk menggarap
para murid-muridnya untuk menanamkan rasa nasionalisme, jalur ini memang lebih
cendrung berorientasi pendidikan.
Namun setelah organisasi yang bernama
Nahdhatuhul Ulama ini terbentuk, nahdhathul Ulama dalam anggaran dasarnya tidak
menyebutkan kemerdekaan sebagai salah satu tujuannya. Baru dikemudian hari,
anti-kolonialisme diajarkan dan tertuang dalam buku-buku pegangan sekolah kaum
tradisionalis. Bahkan Kiai HM dachlan menjelaskan bahwa perjuangan
anti-penjajah merupakan asal usl Nahdhathul Ulama.
Akan tetapi, mengutip dari Choirul Anam,
Nahdhatul Ulama, secara implicit bertujuan melawan Belanda. Empat tahun setelah
berdirinya NU, yakni sekitar tahun 1930-an, dalam pesantren-pesantren dan
madrasah-madrasah yang didirikan oleh para kiai NU, diwajibkannya menyanyikan
lagu kebangsaan setiap hari kamis setelah mata pelajaran selesai. Bukan hanya
itu, tapi buku-buku yang dilarang dipelajari di sekolah-sekolah oleh penjajah,
beredar di pesantren-pesantren serta madrasah-madrasah. Hal ini jelas bahwa
Nahdhatul Ulama serius dalam pengusiran penjajah dengan menanamkan rasa Nasionalisme
sebagai pondasi awal perlawanan terhadap Belanda.
Dalam bidang hukum khususnya pada urusan
keagamaan umat Islam, Nahdhathul Ulama secara tegas untuk menolak intervensi
dari pemerintahan Belanda. Pada tahun 1931, masalah warisan ditarik dari
wewenang Pengadilan Agama, artinya bahwa hukum adat yang kembali diberlakukan
di Pulau jawa, Madura dan Kalimantan Selatan. Hal ini bukan semata-mata
diberlakukannya hukum adat akan tetapi penggrogotan wewenang Pengadilan Agama
yang merupakan lambang wewenang kaum muslimin yang menimbulkan rasa tidak
senang tersebut.
Di massa-masa persiapan kemerdekaan,
meskipun NU tidak melibatkan diri secara langsung dalam dunia politik, para
pemimpin NU memperhatikan juga bentuk Negara Indonesia yang akan datang. Hal
ini dipertegas dalam Muktamar XV pada tahun 1940, Muktamar ini sekaligus Muktamar
terakhir pada masa Colonial Belanda, dalam muktamar tersebut berkesimpulan
menunjuk Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai calon presiden yang pantas
memimpin bangsa. Muktamar tersebut dihadiri oleh 11 tokoh NU yang dipimpin oleh
Mahfudz Shidiq.
Selanjutnya, di masa proklamasi
kemerdekaan, berdebatan sengit mengenai bentuk Negara yang dimulai dari
tahun 1920-an, akhirnya memuncak saat Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945.
Sebenarnya bukan hanya bentuk Negara yang diperdebatkan, akan tetapi banyak hal
lain yang diperdebatkan mengenai jati diri negar kedepannya, antara lain :
mengenai batas wilayah, bentuk Negara, dan bentuk pemerintahan.
Yang pada akhirnya, di Bulan April 1945,
dalam pidatonya, Soekarno meletakan dasar Negara dengan dasar 5 sila atau yang
masyhur disebut dengan pancasila.
Peranan NU dalam melegalkan pancasila ini
tercermin dalam iskusi antara Soekarno, kiai Wahab Hasbullah, kiai Masykur dan
kahar Muzakar yang berkesimpulan bahwa 5 sila tersebut representasi dari ajaran
Islam. Akan tetapi titik tekan yang dilakukan oleh para pemimpin Islam tersebut
lebih kepada persatuan Indonesia yang terdiri dari beberapa agama dan banyak
suku bangsa yang tersebar luas di belahan nusantara.
Lagi-lagi, pancasila kembali menimbulkan
diskursus dengan golongan Islam kanan dan golongan Nasionalis, hingga pada
akhirnya Soekarno memanggil panitia 62 kemudian membentuk panitia kecil yang
terdiri dari 9 orang yang akan membahas kompromi antara kaum Islam dan
Nasionalis. Kyai Wahid Hasyim sebagai representasi dari golongan Islam
tradisional atu NU, dalam rapat panitia tersebut membuahkan hasil dengan
menambahkan acuan syariat Islam bagi pemeluknya, menurut dasar kemanusian yang
adil dan beradab.
Tidak berhenti disitu perdebatan mengenai 5
sila tersebut, pada rapat selanjutnya, piagam Jakarta tersebut dipertanyakan
kembali oleh tokoh Nasionalis dan Kristen. Latuharhari, dari protestan,
melontarkan dengan tegas kekhawatirannya mengenai ditambahkannya syariat Islam
dalam sila tersebut, yang berdampak pada perpecahan. Dari NU sendiri yang
diwakili oleh Wahid Hayim mengusulkan agar Agama Negara adalah Islam, dengan
jaminan bagi pemeluk lain untuk dapat beribadah menurut agamanya masing-masing.
Perdebatan sengit mengenai piagam jakarta ini, saat
dua hari setelah jepang menyerah, yakni pada tanggal 17 Agustus malam, pada
hari proklamasi kemerdekaan dikumandangkan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta,
menerima kunjungan perwira jepang yang menyampaikan keberatan-keberatan
penduduk di Indonesia Timur, yang tidak beragama Islam mengenai dimuatnya
piagam Jakarta pada mukaddimah UUD, bila tidak diuabah, mereka lebih suka
berdiri diluar republic Indonesia. Artinya mereka tidak akan bergabung dengan
Indonesia dan perpecahan ini diakibatkan oleh piagam Jakarta pada muqadimahnya.
Pada akhirnya pada tanggal 18 agustus Muhamad Hatta memanggil empat anggota
panitia persiapan kemerdekaan yang diwakili oleh Islam. Antra lain yaitu: Ki
Bagus Adi Kusumo, Kasman Singodimejo, Teuku Muhamad Hasan dan Wahid Hasim.
Hasil rapat panitia tersebut berkat usulan Wahid Hasim yaitu mengenai
digantinya syariat Islam dengan ke-Tuhan an yang maha esa. Wahid Hasim
sebgai representasi dari NU berperan penting atas Persatuan Bangsa Indonesia
dengan kata lain beliau adalah pahlawan konstitusi Republik Indonesia yang
menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan, tanpa menghilangkan nilai-nilai Islam
dalam piagan Jakrta tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar